Home Base: 8. Tara dan Hardi

baemysonshine39
5 min readFeb 11, 2024

--

“Dua siswa yang kemarin tertangkap kabur dari asrama sudah diberi hukuman berat. Satu siswa yang jadi komplotan juga akan mulai hukumannya disini senin besok. Hari minggu nanti aku suruh dia kesini, mas. Supaya bisa kenalan sama mba Yenny, Yuva, dan Ilana.”

“Hmm, kamu kasih hukuman apa buat yang kabur?”

“Biasa, hukuman fisik. Lari mereka aku kasih lebih banyak, turun push-up lebih banyak, G-Force Training juga. Plus aku suruh bersih-bersih asrama.”

“Jangan kasih terlalu berat, mereka anak pejabat.”

Tara menghela napasnya malas, “Ya kalau kayak gitu nggak adil buat yang lainnya. Aku mau tetap adil.”

“Emang dengan kamu kirim Sayra kesini jadi adil?”

“Sayra itu korban, mas. Kita sama-sama tau berapa kali dia diginiin, ditumbalin sama temen angkatannya cuma karena dia nggak punya backingan? Aku kasih hukuman dia kesini itu sesuai porsinya.”

“Aduuuh! Kalian tuh ngapain sih ngomongin kerjaan di hari sabtu gini?”

Dua sosok yang tengah berbincang-bincang di meja makan menoleh saat mendengar suara Ilana di kejauhan. Dari salah satu lorong yang menyambungkan ruang makan dengan area inti rumah tersebut datang Ilana dengan celana pendek yang hampir tidak terlihat karena tertutupi oleh hoodie yang nampak kebesaran di tubuh Ilana.

USAFA 77.

Baik Tara maupun Hardi menatap Ilana dengan pandangan penuh tanya. Pasalnya hoodie yang digunakan oleh Ilana bukan hoodie yang bisa didapatkan dengan mudah. Otak Tara dan Hardi berputar cepat, memikirkan siapa kira-kira kenalan mereka di United States Air Force Academy yang bisa dimintakan informasinya.

“Ganti celana kamu, na.” ucap Hardi datar, walaupun dalam benaknya ia masih penasaran bagaimana bisa putrinya memiliki hoodie tersebut.

“Aku belum bongkar koper.”

“Pakai training ayah kalau perlu. Disini banyak orang, nggak pantes kamu dilihat ajudan pakai celana mini kayak gitu.”

Ilana menghela napasnya panjang, malas mengomentari ucapan ayahnya.

“Ya, nanti. Aku laper, makan dulu.” ucap Ilana sembari menarik kursi meja makan yang berada di sebelah Tara.

Tangan Tara kemudian menyodorkan piring berisikan nasi goreng seafood buatannya kepada Ilana yang disambut dengan senyuman girang.

“Aku nggak tau kamu ada disini, sombong banget gak ngabarin.” ucap Tara membuka perbincangan.

“Baru sampai semalem, ra. Pagi ini masih jetlag juga.”

“Kamu sudah dibilangin berapa kali sih, panggil tante kamu yang sopan. Jangan langsung nama.” ujar Hardi memberikan peringatan kepada Ilana.

“Biar aja, mas. Lagian aku mending dipanggil pakai nama daripada dipanggil tante.” tawa Tara.

Perempuan yang kini berpangkat Mayor Penerbang itu merupakan adik bungsu dari Yenny Husein Prasetyo, yang membuatnya menyandang status sebagai ‘tante’ dari Ilana dan Yuva. Namun mengingat jarak umur mereka tidak cukup jauh bagi Ilana untuk memanggilnya dengan sebutan ‘tante’, akhirnya Ilana dan Yuva lebih sering memperlakukan Tara layaknya kakak dibandingkan dengan tante mereka.

Keluarga Husein Prasetyo merupakan keluarga yang secara turun temurun menempati posisi strategis di Angkatan Udara. Husein Prasetyo sendiri, kakek buyut dari Ilana, pernah menempati posisi puncak di jajaran Angkatan Udara sebagai kepala staf, jenderal bintang empat.

Tidak hanya Tara, ayahnya, pamannya, sepupunya, bahkan dua kakak laki-lakinya pun menempati posisi strategis masing-masing, begitu pula dengan Yenny yang merupakan istri dari Hardi Asnan, lebih tepatnya Marsekal Pertama Hardi Asnan yang kini menjabat sebagai Komandan Wing Pendidikan.

Bahkan bisa dibilang Tara-lah satu-satunya keluarga Husein Prasetyo yang belum menempati posisi strategis.

Hanya menjadi seorang instruktur penerbang.

Sudah berulang kali Tara dipromosikan, dipindahtugaskan ke jabatan yang lebih strategis, namun ditolak mentah-mentah oleh Tara. Ia selalu mengeluarkan alasan yang sama.

Ia ingin mencetak penerbang handal untuk tanah air.

Cita-cita yang mulia, namun sering dicibir oleh anggota keluarganya yang lain, bahkan kakak nya sendiri, Yenny. Hanya Hardi satu-satunya yang selalu membela Tara dan membiarkan adik iparnya terus menjalani posisinya sebagai instruktur penerbang. Hal ini juga yang membuat Tara lebih dekat dengan Hardi ketimbang ia dengan ketiga kakaknya.

“Adek kemana?” tanya Ilana pada ayahnya.

“Barusan pergi sama bunda kamu.”

“Ke?”

“Nyiapin buat acara malam nanti, na.” jawab Tara.

Ilana menoleh ke arah Tara, meminta penjelasan dan dibalas dengan tawa.

“Ayah kamu ini ngehukum semua siswa sekbang. Minggu lalu ketahuan ada yang kabur dari asrama di luar jadwal pesiar–….”

“Kalian itu pilot apa pelaut sih? Kok pesiar? Bukannya itu kapal?”

Lagi-lagi Tara tertawa, “Pesiar itu jadwal free time mereka. Jadi biasanya di akhir pekan mereka dikasih free time, boleh keluar asrama, terserah mau kemana tapi ada jadwalnya. Long story short, ada siswa yang nggak pulang on-time tapi mereka kongkalikong sama temennya yang sudah pulang duluan ke asrama.”

“Terus?”

“Ya kena hukum. Akhirnya sebulan ini semua dihapus tuh jatah pesiarnya sama ayah kamu.”

“Nggak sebulan. Itu gertakan aja, kita lihat dua minggu ini. Baru nanti diputuskan lagi.” potong Hardi cepat.

“Terus nanti malem ngapain?”

“Ayah kamu ngumpulin semua siswa di asrama, mau dibikinin acara tuh sama ayah kamu. Ada acara nonton bareng, fun game, liat aja nanti malem. Ngehukum tapi setengah-setengah.” tawa Tara.

“Daripada mereka jenuh dan coba kabur lagi, mending dikasih acara. Kalau mereka masih nyoba kabur, berarti yang salah sepenuhnya ada di mereka.”

Ilana tidak mempedulikan percakapan antara Tara dan ayahnya. Ia memilih untuk berfokus pada nasi goreng buatan Tara, yang juga merupakan nasi goreng favoritnya. Namun tiba-tiba ia teringat sesuatu, lebih tepatnya seseorang yang ia lihat pagi tadi.

Ditaruhnya sendok dan garpu yang sedari tadi ia gunakan untuk menyantap sarapannya. Lalu ditepuknya tangan Tara.

“Kak, lo kan instruktur ya disini?”

Tara mengangguk.

“Apal semua siswa lo nggak?”

“Semua yang dimaksud apa dulu? Kalau semua, as in semua siswa yang pernah aku latih, ya mungkin ada beberapa yang aku lupa.”

“Kalau yang sekarang masih jadi siswa?”

“Hafal.”

Perhatian Hardi berangsur terpusat pada Ilana. Jarang sekali putri sulungnya menunjukkan ketertarikan dengan hal-hal yang berbau militer, berbanding terbalik dengan Yuva.

“Kenapa? Kamu ada yang tertarik?”

Ilana hanya mengedikkan bahunya.

“Siapa?” cecar Hardi.

“Nggak ada, ayah. I just wondering because pagi tadi aku liat segerombolan yang lari. Many of them. Aku cuma penasaran. Ada berapa sih? Lima puluh? I don’t know, well makanya penasaran aja.”

“Satu angkatan cuma tiga puluh, maksimal tiga puluh enam.” jawab Tara.

“Sekarang banyak pilot cewek ya?” selidik Ilana lagi, namun kali ini berusaha sebisa mungkin agar tidak terlihat terlalu penasaran.

“Lumayan. Satu angkatan bisa enam sampai sepuluh orang. Dibanding zamanku dulu, sekarang sudah lebih maju.”

Ilana mengangguk pelan, pura-pura tak acuh.

“Oh right, in fact, satu siswa yang kena hukuman, yang tadi aku ceritain, dia perempuan. Besok dia kesini, lapor datang.”

“Yang kabur?”

Tara menggeleng, “Yang jadi komplotan.”

“Dihukum apa dia disini? I don’t see it as a punishment?”

“See? Bahkan Ilana yang baru datang bisa bilang begitu.” ucap Hardi menyela pembicaraan.

Tara menggeleng, “That’s the art of giving punishment. Aku sudah jadi instruktur bertahun-tahun. Hukuman fisik? Biasa. Kalau mas lupa, anak-anak seumuran mereka itu masih gede egonya, bangga jadi penerbang. Bayangin aja dihukum disuruh jadi ajudan ibu-ibu, atau bahkan anaknya ibu-ibu.”

“Ouch, you’re gonna hurt their pride.” ucap Ilana yang memahami maksud dari Tara.

Hardi melipat kedua tangannya di depan dada. Kini ia mengerti alasan Tara menghukum Sayra dengan menempatkannya sebagai ajudan sementara dari Ilana dan Yuva. Secara kasat mata Tara akan terlihat memberikan hukuman lebih berat kepada Sayra. Walaupun sebenarnya Tara justru memberikan hukuman yang lebih ringan karena ia paham betul bahwa baik Ilana maupun Yuva tidak pernah memperlakukan ajudan-ajudan mereka dengan buruk.

Agak ‘nyeleneh’ mungkin iya, tapi Yuva tidak pernah punya sejarah memperlakukan pengawalnya dengan buruk. Sementara Ilana, putrinya yang satu itu selalu acuh tak acuh dengan semua hal berbau militer.

“Who’s her name again?” tanya Ilana.

“Letnan Dua Penerbang, Sayra.”

Unlisted

--

--

No responses yet